Karut-marut persoalan yang membelit bangsa ini, seperti halnya merebaknya praktik mafia di semua bidang, merupakan akibat terkoyaknya karakter bangsa di tengah gelombang kapitalisme. Para pemimpin yang semestinya menjadi imam bagi masyarakat gagal memberikan teladan, baik perkataan maupun perbuatan.
Kondisi bangsa ini cenderung mengarah pada ”karakter Kurawa” dalam dunia pewayangan. Oleh karena itu, bangsa ini perlu mengkaji ulang makna konsep tujuan beragama dan hidup di dunia ini.
Hal itu disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus, Sabtu (27/11/2010), dalam seminar ”Revitalisasi Peran Agama dan Budaya sebagai Asas Pembangunan Karakter Bangsa” yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Agama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pembicara lain adalah Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Damardjati Supadjar. Seminar dibuka Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdul Djamil.
”Kondisi bangsa yang memprihatinkan tak bisa lain kecuali dihadapi dengan mengkaji ulang makna kehidupan beragama kita. Apakah yang kita yakini benar selama ini sudah benar atau kebenaran itu hanya dalam batas anggapan kita?” kata Gus Mus yang juga Wakil Rai Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Gus Mus mengatakan, dalam tradisi Jawa, hidup di dunia sekadar mampir ngombe, menumpang minum. Dahulu di bagian depan rumah-rumah orang Jawa selalu ada sumur dan kendi berisi air minum. Maknanya, tamu siapa pun bisa mencuci muka atau minum dengan cuma-cuma. Dalam kehidupan yang makin kapitalis, bangsa ini kehilangan orientasi. Terjadi disorientasi, baik yang diajarkan oleh agama maupun makna soal kehidupan itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar