Pemerintah meyakini siap mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak mentah. Selain nilai tukar rupiah, volatilitas bahan pangan dan energi menjadi faktor yang telah diperhitungkan pemerintah dalam upaya memastikan inflasi tetap terjaga.
Pemerintah juga optimistis hal itu tidak akan berdampak pada ekspektasi pertumbuhan ekonomi tahun 2011. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa mengemukakan hal itu saat ditemui seusai rapat kabinet terbatas bidang perekonomian di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (27/12/2010).
”Kita tidak bisa menganggap bahwa harga minyak mentah pada tahun 2011 akan stay pada 90 atau 100 dollar AS per barrel karena harga minyak mentah ini sangat fluktuatif. Tetapi, kita juga tentu memiliki policy respons kalau harganya memang di atas itu,” ujar Hatta.
Meski demikian, ia menegaskan, kebijakan yang merespons bila tren harga minyak terus meninggi itu bukan lantas berupa kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri. Menurut Hatta, belum ada pemikiran pemerintah ke arah itu. ”Kita mencermati harga pangan seperti apa, harga energi juga. Ada simulasinya, policy respons-nya apa,” ujarnya.
Mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak, Hatta mengatakan, pemerintah menyiapkan langkah dari sisi suplai dan permintaan.
Dari sisi suplai, pemerintah berkomitmen mendorong sepenuhnya peningkatan produksi minyak. Sementara di sisi permintaan dilakukan pengelolaan antara lain melalui pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. ”Supply kita tingkatkan, demand-nya kita kelola supaya tidak terjadi pemborosan. Jangan kalau terjadi kenaikan selalu bicaranya seperti panik, otomatis apakah dinaikkan BBM, enggak, kita bisa manage itu,” ujarnya.
Pemerintah tetap optimistis target produksi migas yang dipatok pada APBN 2011 970.000 barrel per hari akan tercapai. ”Kita pernah mengalami harga minyak 140 dollar AS per barrel, tetapi kita masih bertahan, bahkan tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, kondisi neraca perdagangan minyak dan gas tahun 2011 tergolong mengkhawatirkan. ”Secara keseluruhan, iklim investasi dan impor kita pada tahun 2010 luar biasa karena di atas target semuanya. Pertumbuhannya cukup bagus, balance of trade (neraca perdagangan) juga masih bagus, positif, walaupun, kami mencemaskan juga balance of trade di sektor migas. Karena konsumsi semakin meningkat, impor semakin meningkat,” kata Hatta Rajasa.
Risiko peningkatan impor
Menurut Hatta, untuk memitigasi risiko peningkatan impor produk minyak tersebut, pemerintah memastikan akan melakukan dua langkah kebijakan.
Pertama, meningkatkan produksi produk minyak di dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan penambahan kilang di Indonesia. ”Kedua, mengatur konsumsi BBM bersubsidi dan melakukan penghematan,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengingatkan potensi kenaikan harga minyak di dunia sebab setiap kenaikan harga jual minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar satu dollar AS, akan menyebabkan kebutuhan subsidi BBM melonjak Rp 2,6 triliun.
Jika nilai tukar melemah Rp 100 per dollar AS, akan mendorong kenaikan subsidi BBM Rp 2,4 triliun.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Priagung Rahmanto menyebutkan, meningkatkan harga minyak mentah di pasar internasional dengan sendirinya akan memperbesar defisit APBN karena akan menaikkan anggaran subsidi energi (baik BBM maupun subsidi listrik).
Perhitungan Reforminer menunjukkan, setiap kenaikan satu dollar AS harga minyak mentah di atas asumsi harga jual minyak mentah Indonesia (ICP) 80 dollar AS per barrel, akan mendongkrak anggaran subsidi energi sebesar Rp 3,1 triliun.
”Sementara penerimaan dari penjualan minyak hanya bertambah Rp 2,6 triliun. Jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi jadi diterapkan, juga tidak akan menolong. Justru akan memberatkan masyarakat karena harga pertamax bisa Rp 8.900 per liter. Pemerintah sebaiknya menaikkan BBM Rp 200-Rp 300 per liter,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar