Pengamat psikologi politik Universitas Indonesia Handy Muluk berpendapat, pernyataan para tokoh agama mengenai 18 kebohongan pemerintah merupakan suatu hal yang tepat. Sebab, tokoh agama tersebut mewakili moral masyarakat.
"Pendekatakan yang digunakan fenomenologis, penghayatan dan memang pas apa yang disampaikan tokoh agama, karena mereka mewakili moral," kata Handy dalam diskusi polemik bertema "Musim Berbohong" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (15/1/2011).
Pernyataan tokoh agama tersebut, kata Handy, harus dilihat dari sisi yang berbeda. Bukan diartikan sebagai penyerangan terhadap karakter pribadi seseorang, dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Yang dimaksud tokoh lintas agama mungkin bukan karakter. Yang dituduh bukan orang, tapi sistem yang disebut pemerintahan," katanya.
Sebelumnya, sejumlah tokoh agama menyampaikan pernyataan terkait 18 kebohongan pemerintah. Rupanya kata "bohong" yang ditujukan kepada pemerintah itu menyinggung presiden hingga Istana merasa perlu segera menanggapi pernyataan tersebut.
Staf ahli presiden bidang politik, Daniel Sparinga dalam diskusi polemik menyampaikan, tuduhan berbohong merupakan suatu hal yang serius untuk segera ditanggapi. "Apa yang disampaikan menyangkut kredibilitas presiden karena namanya (presiden SBY) disebut namanya jelas," katanya. Bahkan, Daniel mengatakan bahwa kata "gagal" lebih nyaman didengar daripada kata "bohong".
Terkait penggunaan kata "bohong", Handy menilai bahwa secara psikologis kata bohong dapat membuat seseorang tidak nyaman karena berkaitan dengan karakter pribadi seseorang. Sementara kata "gagal", dalam psikologi gagal tidak hanya menyangkut karakter seseorang namun juga kondisi yang membuat seseorang gagal.
"Kalau gagal, orang bisa beralasan karena kondisi lah yang membuat saya gagal," paparnya.
0 komentar:
Posting Komentar