Mendung tebal menggantung di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (16/5/2010), padahal seharusnya bulan Mei ini telah memasuki musim kemarau. |
Hujan lebat akibat pengaruh La Nina masih akan terjadi merata di sebagian besar wilayah Indonesia hingga April-Mei tahun depan. Seiring semakin menurunnya kekuatan La Nina, musim kemarau dan awal musim hujan tahun depan diperkirakan akan kembali normal.
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Erwin ES Makmur di Jakarta, Selasa (14/12/2010), menegaskan, jika aktivitas La Nina masih berlanjut hingga tahun depan, akhir musim hujan pada tahun depan akan lebih panjang satu bulan dibandingkan dengan kondisi normal.
"Walau sudah menurunkan hujan sangat lebat di hampir seluruh wilayah Indonesia, kekuatan La Nina tahun ini masih moderat. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1998," katanya.
Namun, dari pengamatan suhu muka laut Samudra Pasifik, aktivitas La Nina yang sudah muncul sejak Juli 2010 diperkirakan akan melemah dan bergerak ke arah normal pada Mei. Karena itu, akhir musim hujan diperkirakan hanya akan mundur dari Mei menjadi Juni atau mundur satu bulan dibandingkan dengan akhir musim hujan normal, April-Mei.
La Nina adalah fenomena iklim global yang dipengaruhi oleh mendinginnya suhu muka laut di sekitar garis khatulistiwa di Pasifik tengah dan timur serta menghangatnya suhu di Pasifik barat. Akibatnya, angkasa Indonesia dipenuhi banyak uap air yang menimbulkan curah hujan yang tinggi.
Kondisi itu diperparah dengan menghangatnya suhu muka laut sekitar perairan Indonesia sepanjang tahun ini. Suhu muka laut naik sekitar 0,5-1 derajat celsius di atas rata-rata suhu normalnya pada kisaran 29 derajat celsius.
Khusus untuk wilayah Sumatera bagian utara, tinggi curah hujan juga dipengaruhi pergerakan angin dari barat Samudra Hindia ke bagian timur yang lebih hangat. Sementara itu, daerah di sekitar khatulistiwa mendapat tambahan curah hujan lagi akibat pengaruh pergerakan awan dari Afrika timur ke Pasifik barat.
Fenomena La Nina selalu didahului dengan El Nino yang menimbulkan musim kemarau berkepanjangan dan kering atau musim hujan yang pendek dan curah hujannya rendah. Setelah El Nino yang diikuti dengan La Nina yang bersifat basah, biasanya pola cuaca akan kembali ke kondisi normal.
"Pola selama ini, setelah La Nina akan diikuti fase normal. Tidak pernah terekam akan langsung diikuti dengan El Nino kembali. Pola ini biasanya berulang setelah empat-tujuh tahun sekali. Namun, kini muncul gejala berulang setiap dua tahun sekali," katanya.
Selama menunggu berakhirnya musim hujan, kewaspadaan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana yang mungkin timbul, seperti banjir dan longsor, perlu terus ditingkatkan. Pengaruh La Nina akan membuat hujan pada puncak musim hujan kali ini lebih lebat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Kita tidak memiliki teknologi yang bisa menghambat atau mempercepat turunnya hujan. Manusia hanya bisa mengantisipasinya," katanya.
Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, puncak musim hujan baru akan terjadi pada akhir Januari hingga awal Maret. Selain mewaspadai banjir, khusus di Jakarta perlu diwaspadai munculnya genangan yang bisa menimbulkan kemacetan parah.
Puncak musim hujan daerah lain berbeda. Dengan data bencana banjir yang ada sebelumnya, pemerintah perlu segera menyiapkan rencana antisipasi jika bencana tersebut tiba.
Meski iklim setelah akhir musim hujan tahun depan diperkirakan akan kembali normal, Kepala Subbidang Cuaca Ekstrem BMKG Kukuh Ribudiyanto mengingatkan masih adanya potensi cuaca ekstrem berupa hujan lebat yang diikuti angin kencang dan sambaran petir. Di sebagian wilayah, cuaca ekstrem akan terjadi pada musim pancaroba dan berlangsung dalam skala lokal.
Perbedaan Musim Saat wilayah Jawa, Sumatera bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, serta Nusa Tenggara menghadapi puncak musim kemarau pada Juni-Juli, wilayah kepala burung Papua, Maluku, dan sisi timur Sulawesi bagian selatan justru akan mengalami puncak musim hujan.
Kejadian itu bukanlah anomali. Wilayah kepulauan Indonesia yang tersebar luas, diimpit Samudra Hindia dan Samudera Pasifik, serta terletak di sekitar khatulistiwa membuat Indonesia memiliki iklim yang beragam.
Wilayah Indonesia di selatan khatulistiwa beriklim monsunal, yang dipengaruhi gerak angin monsun yang bertiup dari daratan Asia ke Australia dan sebaliknya pada enam bulan berikutnya. Daerah ini umumnya memiliki beda musim kemarau dan musim hujan yang jelas.
Sejumlah wilayah Indonesia memiliki iklim lokal, yaitu daerah Indonesia timur di utara khatulistiwa, seperti Papua Barat, Maluku, dan sebagian Sulawesi, serta pantai barat Sumatera bagian utara.
Iklim lokal di wilayah Indonesia timur di utara khatulistiwa sangat dipengaruhi kondisi Samudra Pasifik. Musim kemaraunya akan lebih pendek dibandingkan dengan musim hujan dan puncak musim hujannya pada Juni-Juli.
Sementara itu, iklim lokal di pantai barat Sumatera bagian utara sangat dipengaruhi kondisi Samudra Hindia. Hujan terjadi hampir sepanjang tahun, tetapi puncak musim hujannya sama dengan wilayah sebelah selatan khatulistiwa, yaitu antara Desember dan Februari.
Wilayah di sekitar garis khatulistiwa, seperti Padang, Pontianak, dan Palu, memiliki iklim ekuatorial. Puncak musim hujannya biasanya terjadi dua kali dalam satu tahun, yaitu ketika matahari melintas tepat di atas khatulistiwa, yaitu sekitar Maret-April dan September-Oktober.
"Kondisi cuaca yang beragam menuntut kewaspadaan setiap pemerintah daerah untuk cermat memerhatikan iklim di daerahnya guna mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi," kata Kukuh.
0 komentar:
Posting Komentar