Kardiman (55) terduduk lemas beralas tikar di tenda pengungsian di lapangan Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (4/1/2011). Beberapa bagian tubuhnya tampak lebam.
Namun, di tengah kemalangan itu, Kardiman tetap merasa bersyukur. Kata tersebut bahkan berulang kali dia ucapkan. Banjir lahar dingin setinggi 2,5 meter pada Senin malam nyaris membenamkan dia dan cucunya, Kendi Putri (2,5), yang ada di dekapannya. Kardiman dan cucunya selamat setelah satu jam bergelantungan di kabel listrik yang waktu itu alirannya mati.
”Alhamdulillah! Saya tidak menyangka masih selamat,” ujar Kardiman dengan sorot mata sayu.
Pada Senin sekitar pukul 17.00, ia bersama Kendi dan tiga anaknya pulang dari pengungsian untuk menengok rumah mereka di Dusun Gempol, Desa Jumoyo. Sekitar pukul 19.00 tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah hulu Kali Putih yang alirannya hanya 15 meter di belakang rumah Kardiman.
Tiga anak Kardiman berlari ke arah persawahan. Kardiman tidak dapat bergerak segesit tiga anaknya lantaran harus menggendong Kendi. ”Kendi itu hanya bisa dekat dengan saya. Sejak kedua orangtuanya tak ada, saya yang menjadi kakek, nenek, sekaligus bapak-ibunya,” tutur Kardiman.
Saat keluar rumah, aliran lahar dingin berupa air, pasir, lumpur, dan batu berkecepatan tinggi sudah mengepung rumah Kardiman dan puluhan rumah tetangganya. Suasana gelap gulita, sementara aliran lahar yang dalam hitungan menit itu semakin besar. Tak ada pilihan lain bagi Kardiman kecuali memanjat atap teras rumahnya sambil mendekap Kendi.
Sekitar 10 menit kemudian aliran lahar sudah setinggi 2 meter. Atap teras rumahnya tenggelam. Sebagian tubuh Kardiman dan Kendi pun ikut terbenam lumpur dan pasir.
Beberapa kali tubuh Kardiman dihantam batu-batu besar yang terbawa lahar. Namun, dia tidak menyerah. Digapainya apa saja yang ada di atap rumah itu. Dalam benak Kardiman hanya terpikir bagaimana agar Kendi selamat. Ia mencoba naik ke puncak atap rumah, tetapi gagal.
Pada saat-saat kritis itu tangannya dapat menggapai kawat listrik yang menjuntai dari atap rumah. Beruntung, saat itu aliran listrik mati. Dengan separuh badan terendam lahar, ia bergelantungan di kabel tersebut. ”Saya berteriak, tetapi tak ada yang bisa menolong. Suasana gelap,” tuturnya.
Nasib baik masih bersama mereka. Di tengah kegelapan itu, Ngaidi (45)—tetangga seberang rumah Kardiman—melihat tubuh Kardiman yang masih mendekap Kendi. Saat itu Ngaidi dan anaknya, Defri (16), sedang berada di atap rumah mereka untuk menyelamatkan diri. ”Saya sendiri sebenarnya juga ketar-ketir (takut dan khawatir). Tapi, melihat Pak Kardiman menggendong anak kecil, saya tak tega. Saya lalu melompat di batu-batu besar dan membawa Kendi dengan sarung ke tempat aman,” ujarnya.
Tak berapa lama, Tim Search and Rescue Magelang menyelamatkan Kardiman dan 47 warga Desa Jumoyo lain yang terjebak banjir lahar dingin. Para warga yang terjebak itu sebagian menyelamatkan diri di atap rumah, di pohon, atau berlari ke areal persawahan yang berada di lokasi lebih tinggi.
”Saya sendiri seperti antara hidup dan mati. Semula saya manjat pohon pisang, tetapi terendam juga. Terus saya melompat ke pohon petai sampai setinggi 4 meter. Waktu itu saya sudah pasrah karena pohon sepertinya mau roboh saat terkena batu besar,” kata Tarno (37), warga Dusun Gempol.
Gagal diantisipasi
Bagi warga Desa Jumoyo, inilah banjir lahar dingin besar kedua sejak Merapi meletus. Sebelumnya, 8 Desember silam, lahar dingin meluluhlantakkan pasar desa, 12 toko, dan 23 rumah di desa itu. Sebanyak 986 warga pun mengungsi.
Kepala Desa Jumoyo Sungkono mengatakan, sejak Senin pukul 18.00 evakuasi sudah disiapkan karena ada informasi dari handy talky bahwa hujan deras di hulu Sungai Putih akan membawa lahar dingin. ”Kami persiapkan semua petugas dan sukarelawan untuk mengungsikan warga,” kata Sungkono.
Namun, aliran lahar dingin yang membawa pasir dan batu-batu berukuran raksasa itu ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Dalam waktu 20 menit, banjir sudah mulai meluap dari badan Kali Putih di wilayah Gempol yang berjarak sekitar 8 kilometer dari hulu. Dengan cepat, para petugas desa dan sukarelawan mengungsikan warga dari setiap rumah.
Sekitar pukul 19.00 banjir mencapai atap rumah-rumah warga. Proses evakuasi tak berlangsung mudah. Selain medan yang berbahaya dan gelap, banyak warga juga enggan dievakuasi dari rumahnya.
”Mereka memilih bertahan di atap rumah. Saking takutnya, mereka enggan dievakuasi sehingga harus dibujuk agak lama baru turun,” kata Sungkono.
Tak selesai drama pada malam itu, pada pagi hari banyak warga yang kembali untuk melihat kondisi rumahnya histeris dan shock, terutama kaum perempuan. Mereka lunglai karena menyaksikan rumah dan harta bendanya porak-poranda dan tertimbun pasir.
Gunarso (47), warga Dusun Gempol, hanya terdiam linglung saat melihat tak sejengkal pun bangunan rumahnya yang tersisa. Rumah yang dibangunnya enam bulan silam itu terseret lahar dingin beserta seluruh isinya. Bahkan, fondasi rumah Gunarso tak lagi berbekas.
Ngaidi hanya mendapati selembar fotokopi surat tanda nomor kendaraan (STNK) sepeda motornya yang bisa diselamatkan. Selebihnya musnah.
”Saya sudah tidak punya apa-apa lagi,” ujarnya lirih.
Dahsyatnya empasan lahar dingin di Dusun Gempol tak terlepas dari fakta sejarah. Menurut Sungkono, jalur limpasan banjir lahar dingin kemarin merupakan alur lama Sungai Putih yang pada 1942 dimatikan Pemerintah Kolonial Belanda. ”Hal itu dilakukan agar Belanda tidak harus membangun dua jembatan dalam jarak berdekatan,” kata Sungkono.
Sayangnya, peristiwa banjir lahar dingin pada 1969 tak cukup menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengembalikan aliran alami Sungai Putih. Sebaliknya, di bekas aliran lama itu dibangun permukiman, toko, bahkan pasar. Akibatnya, saat Merapi kembali meletus, Sungai Putih yang dipenuhi material dengan daya dorong besar memilih jalur alaminya, menimbulkan penderitaan bagi warga.
0 komentar:
Posting Komentar