Laporan Amir Sodikin dari Hakone, Jepang
Koneksi internet paling kencang di dunia memang bukan Jepang, melainkan Korea Selatan. Tapi, Jepang benar-benar contoh sukses penerapan teknologi 3G. Di sela-sela acara Media Tour Fuji Xerox bersama para jurnalis Asia Pasifik di Jepang, 16-19 November 2010, Kompas sempat iseng mencoba berbagai koneksi internet yang tersedia.
Dalam uji tes koneksi internet di Hotel Royal Park, Tokyo, koneksi internet di ruangan hotel tersebut, yang diberikan secara gratis, kecepatan transfer data mencapai 8,32 Mbps untuk download dan 9,20 Mbps untuk upload. Ya, untuk upload justru lebih tinggi dibanding untuk download, berbeda dengan kebiasaan di Indonesia yang terbiasa mencekik lebar pita untuk upload data.
Nilai ping ke server speedtest yang digunakan untuk tes yang berada di Tokyo menunjukkan angka fantastis yaitu hanya 7ms, seolah server hanya ada di samping komputer kita yang digunakan untuk tes. Bukti test bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1032198443.png.
Koneksi yang ditest lewat fasilitas speedtest.net ini terdeteksi menggunakan provider Softbank, salah satu provider layanan data papan atas di Jepang. Tokyo memang kota utama di Jepang, yang terhubung langsung ke jaringan backbone internasional.
Lalu bagaimana dengan layanan data di daerah sub-urban di Jepang? Kompas kembali iseng mencoba koneksi di Hakone, Prefektur Kanagawa. Kota kecil di pegunungan yang biasa dikunjungi turis untuk melihat Gunung Fuji dari dekat ini hanya memiliki cacah jiwa 13.339 (data 2010 dikutip dari Wikipedia).
Dari hasil tes, angkanya justru mencengangkan yaitu untuk download menunjukkan 10,01 Mbps dan untuk upload 9,36 Mbps. Terdeteksi koneksi menggunakan NTT Docomo, namun biayanya tidak gratis yaitu sekitar Rp 60.000 per hari (tarif dari hotel). Bukti tes bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1035476167.png.
Hasil ping menunjukkan nilai di atas tes di Tokyo yaitu 18ms, hal ini bisa dimaklumi karena server yang digunakan untuk tes koneksi ini menggunakan server Speedtest dengan lokasi di Tokyo, yang berjarak lebih dari 80 km dari Hakone.
Dengan koneksi seperti itu, untuk download atau mengunduh file mp3 sebesar 5MB hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 detik. Untuk unduh klip video 35MB, hanya dibutuhkan waktu 11 detik. Jika ingin mengunduh file film sebesar 800MB, maka hanya dibutuhkan waktu kira-kita 11 menit. Untuk upload atau unggah email 1 MB hanya dibutuhkan waktu 1 detik, untuk unggah foto 8MB hanya dibutuhkan waktu 7 detik, sedangkan unggah video 35MB, dibutuhkan waktu hanya 30 detik.
Itu berarti, lebih kenceng dibanding kita memindahkan foto-foto koleksi kita dari kamera ke komputer menggunakan card reader dengan kabel USB versi 2, apalagi jika menggunakan kabel USB versi 1. Tentu saja, untuk menonton film di internet atau menonton video di Youtube, seperti kita nonton televisi konvensional yang tak lagi putus-putus.
Di Jepang, tampaknya biaya berlangganan televisi kabel dianggap lebih mahal dibanding internet. Karena itu, hotel-hotel di Jepang terbiasa tidak jor-joran menyediakan stasiun tv kabel seperti hotel-hotel di Indonesia umumnya, dan sebagai gantinya melengkapi kamar hotel dengan sebuah PC yang terhubung ke internet broadband.
Saatnya menuntutJika pengalaman ini ditarik ke kondisi Indonesia, kalau sampai dibilang Indonesia adalah negeri para pembual untuk hal-hal yang berbau politik dan bisnis, rasanya kita sulit membantahnya. Ya, kali ini kita terpaksa membandingkan bagaimana Indonesia dan Jepang mendefinisikan koneksi 3G di negara masing-masing.
Indonesia, dengan banyaknya provider telepon seluler GSM dan CDMA yang menyediakan layanan data, telah lama mengampanyekan dan mengklaim menggunakan teknologi 3G, bahkan 3,5 G, atau bahkan sedang uji coba 4G. Hiruk pikuk perang layanan data ini begitu intensif sehingga di setiap pameran teknologi informasi dan pameran komputer, diobral berbagai perangkat koneksi internet, terutama modem, dengan koneksi 3G atau 3,5G.
Di tingkat penggunaan telepon seluler, sekarang hampir tak ada anak muda yang menggunakan telepon seluler yang bukan 3G karena kampanye soal telepon seluler berbasis 3G yang bisa video call sukses dilakukan. Padahal, koneksi yang didapat masih berkisar maksimal di bawah ratusan kbps, jauh dari janji-janji koneksi 3G yang harusnya bisa mencapai sekian mbps.
International Telecommunication Union (ITU) memang tak mendefinisikan berapa kecepatan internet sebuah provider jika mengklain diri sebagai penyedia layanan 3G. Tapi, setidaknya kita sepakat bahwa koneksi internet 3G di Indonesia harusnya tak hanya sekadar setara GPRS semata yang hanya 56-114 kbps, atau parahnya kurang dari angka GPRS itu.
Seberapa cepat koneksi internet kita di rumah atau di kantor? Sudahkah memenuhi ekspektasi awal ketika kita membeli paket data tersebut? Ayo share data kecepatan internet Anda, salah satunya dengan memanfaatkan tes di www.speedtest.net.
Share bisa Anda lakukan di blog dan juga di berbagai forum agar penyelenggara internet di negeri kita sadar dan mau memperbaiki diri untuk Indonesia yang lebih baik. Jangan eksploitasi lagi konsumen dengan janji-janji manis! Saatnya konsumen menuntut!
Koneksi internet paling kencang di dunia memang bukan Jepang, melainkan Korea Selatan. Tapi, Jepang benar-benar contoh sukses penerapan teknologi 3G. Di sela-sela acara Media Tour Fuji Xerox bersama para jurnalis Asia Pasifik di Jepang, 16-19 November 2010, Kompas sempat iseng mencoba berbagai koneksi internet yang tersedia.
Dalam uji tes koneksi internet di Hotel Royal Park, Tokyo, koneksi internet di ruangan hotel tersebut, yang diberikan secara gratis, kecepatan transfer data mencapai 8,32 Mbps untuk download dan 9,20 Mbps untuk upload. Ya, untuk upload justru lebih tinggi dibanding untuk download, berbeda dengan kebiasaan di Indonesia yang terbiasa mencekik lebar pita untuk upload data.
Nilai ping ke server speedtest yang digunakan untuk tes yang berada di Tokyo menunjukkan angka fantastis yaitu hanya 7ms, seolah server hanya ada di samping komputer kita yang digunakan untuk tes. Bukti test bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1032198443.png.
Koneksi yang ditest lewat fasilitas speedtest.net ini terdeteksi menggunakan provider Softbank, salah satu provider layanan data papan atas di Jepang. Tokyo memang kota utama di Jepang, yang terhubung langsung ke jaringan backbone internasional.
Lalu bagaimana dengan layanan data di daerah sub-urban di Jepang? Kompas kembali iseng mencoba koneksi di Hakone, Prefektur Kanagawa. Kota kecil di pegunungan yang biasa dikunjungi turis untuk melihat Gunung Fuji dari dekat ini hanya memiliki cacah jiwa 13.339 (data 2010 dikutip dari Wikipedia).
Dari hasil tes, angkanya justru mencengangkan yaitu untuk download menunjukkan 10,01 Mbps dan untuk upload 9,36 Mbps. Terdeteksi koneksi menggunakan NTT Docomo, namun biayanya tidak gratis yaitu sekitar Rp 60.000 per hari (tarif dari hotel). Bukti tes bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1035476167.png.
Hasil ping menunjukkan nilai di atas tes di Tokyo yaitu 18ms, hal ini bisa dimaklumi karena server yang digunakan untuk tes koneksi ini menggunakan server Speedtest dengan lokasi di Tokyo, yang berjarak lebih dari 80 km dari Hakone.
Dengan koneksi seperti itu, untuk download atau mengunduh file mp3 sebesar 5MB hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 detik. Untuk unduh klip video 35MB, hanya dibutuhkan waktu 11 detik. Jika ingin mengunduh file film sebesar 800MB, maka hanya dibutuhkan waktu kira-kita 11 menit. Untuk upload atau unggah email 1 MB hanya dibutuhkan waktu 1 detik, untuk unggah foto 8MB hanya dibutuhkan waktu 7 detik, sedangkan unggah video 35MB, dibutuhkan waktu hanya 30 detik.
Itu berarti, lebih kenceng dibanding kita memindahkan foto-foto koleksi kita dari kamera ke komputer menggunakan card reader dengan kabel USB versi 2, apalagi jika menggunakan kabel USB versi 1. Tentu saja, untuk menonton film di internet atau menonton video di Youtube, seperti kita nonton televisi konvensional yang tak lagi putus-putus.
Di Jepang, tampaknya biaya berlangganan televisi kabel dianggap lebih mahal dibanding internet. Karena itu, hotel-hotel di Jepang terbiasa tidak jor-joran menyediakan stasiun tv kabel seperti hotel-hotel di Indonesia umumnya, dan sebagai gantinya melengkapi kamar hotel dengan sebuah PC yang terhubung ke internet broadband.
Saatnya menuntutJika pengalaman ini ditarik ke kondisi Indonesia, kalau sampai dibilang Indonesia adalah negeri para pembual untuk hal-hal yang berbau politik dan bisnis, rasanya kita sulit membantahnya. Ya, kali ini kita terpaksa membandingkan bagaimana Indonesia dan Jepang mendefinisikan koneksi 3G di negara masing-masing.
Indonesia, dengan banyaknya provider telepon seluler GSM dan CDMA yang menyediakan layanan data, telah lama mengampanyekan dan mengklaim menggunakan teknologi 3G, bahkan 3,5 G, atau bahkan sedang uji coba 4G. Hiruk pikuk perang layanan data ini begitu intensif sehingga di setiap pameran teknologi informasi dan pameran komputer, diobral berbagai perangkat koneksi internet, terutama modem, dengan koneksi 3G atau 3,5G.
Di tingkat penggunaan telepon seluler, sekarang hampir tak ada anak muda yang menggunakan telepon seluler yang bukan 3G karena kampanye soal telepon seluler berbasis 3G yang bisa video call sukses dilakukan. Padahal, koneksi yang didapat masih berkisar maksimal di bawah ratusan kbps, jauh dari janji-janji koneksi 3G yang harusnya bisa mencapai sekian mbps.
International Telecommunication Union (ITU) memang tak mendefinisikan berapa kecepatan internet sebuah provider jika mengklain diri sebagai penyedia layanan 3G. Tapi, setidaknya kita sepakat bahwa koneksi internet 3G di Indonesia harusnya tak hanya sekadar setara GPRS semata yang hanya 56-114 kbps, atau parahnya kurang dari angka GPRS itu.
Seberapa cepat koneksi internet kita di rumah atau di kantor? Sudahkah memenuhi ekspektasi awal ketika kita membeli paket data tersebut? Ayo share data kecepatan internet Anda, salah satunya dengan memanfaatkan tes di www.speedtest.net.
Share bisa Anda lakukan di blog dan juga di berbagai forum agar penyelenggara internet di negeri kita sadar dan mau memperbaiki diri untuk Indonesia yang lebih baik. Jangan eksploitasi lagi konsumen dengan janji-janji manis! Saatnya konsumen menuntut!
0 komentar:
Posting Komentar