Jajanan pasar, makanan yang sering dianggap ”ndeso” itu, memutar roda perekonomian rakyat. Tengok saja Pasar Subuh Senen yang beromzet rata-rata Rp 1 miliar semalam. Kini, jajanan pasar bertransformasi, bergaul dalam kehidupan urban dan melenggang ke mal.
Malam kian larut. Namun, Pasar Subuh Senen tambah ramai. Pedagang dan pembeli tumplek blek di antara lapak-lapak berisi tumpukan berjenis-jenis kue di emperan dan lorong blok II, III, dan IV Pasar Senen.
Inilah ”surga” bagi penggemar jajanan pasar di Jakarta. Bayangkan, hampir semua jenis kue pasar yang mungkin kita kenal ada di sini. Mulai dari lemper, klepon, cenil, bika ambon, putu mayang, bugis, talam, wajik, ongol-ongol, hingga semar mendem. Kue yang dulu tidak dijual di pasar tradisional, seperti tar, black forest, dan tiramisu, kini juga tersedia di pasar subuh.
Di sanalah Rudianto Herman (58) berjualan kue tar, bolu, dan karamel sejak 1982. Dia berjualan kue lantaran usaha konstruksinya mundur. Sejak saat itu, setiap malam hingga pagi menjelang, dia terjaga di pasar subuh. Ritme hidupnya berubah. Siang jadi malam, malam jadi siang. Itu semua dia lakoni karena usaha ini menopang ekonomi keluarga. Setiap malam, omzet penjualan kuenya rata-rata Rp 3 juta dengan keuntungan 10-20 persen. Pada akhir pekan, omzet naik dua kali lipat. ”Menjelang Lebaran, omzet berlipat tiga hingga lima kali.”
Dari usaha ini, dia bisa menyekolahkan tiga dari empat anaknya hingga perguruan tinggi. Dia sempat mengirim anak tertuanya kuliah di Oklahoma, Amerika Serikat. ”Tapi, ketika krisis ekonomi 1998, saya tarik lagi. Dollar melambung tinggi. Saya tidak tahan,” katanya.
Di sudut lain, Mamik (38) berjualan lapis legit dan roti surabaya sejak 1992. Dia berebut rezeki dengan pedagang lemper, pastel, wajik, dan sebagainya. ”Alhamdulillah, dari usaha ini keluarga saya bisa hidup,” ujar Mamik yang mengaku omzet penjualan kuenya rata-rata Rp 2 juta per hari.
Memasuki pasar yang ramai menjelang tetesan embun pertama turun itu, kita akan menyaksikan semangat wong cilik untuk memperjuangkan hidup. Tanpa gembar-gembor soal target pertumbuhan, pedagang kue subuh sanggup memutar roda perekonomian rakyat. Rudianto mengatakan, uang yang beredar setiap malam dari bisnis kue setidaknya Rp 1 miliar.
Perhitungannya sederhana. Di Pasar Subuh Senen, ada 300-an pedagang yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Kue Subuh Senen (PPKSS), masing-masing beromzet Rp 3 juta. "Kami belum menghitung omzet pedagang lain yang tidak tergabung di PPKSS,” ujar Rudianto, Ketua PPKSS.
Bisnis ini juga menciptakan rantai ekonomi yang panjang. Sebelum kue pasar itu sampai ke konsumen akhir, mereka ”bersentuhan” dengan periuk nasi banyak orang, mulai dari kuli panggul, tukang ojek, jasa pengantar, hingga pengecer kue.
Begitulah, pasar subuh seperti lampu neon terang pada malam gelap yang mampu menarik kawanan laron untuk berkumpul. Ini tidak hanya terlihat di Pasar Subuh Senen, tetapi juga pasar subuh di kawasan Blok M.
Transformasi ”jirem”
Itu sebabnya pedagang seperti Rudianto dan Mamik tidak pernah khawatir bisnis kue pasar akan meredup. Pasalnya, kue macam ini sudah jadi santapan sehari-hari berbagai kalangan dari wong ndeso sampai orang kota. Kue pasar ada di meja makan keluarga, di tengah pesta, dan di meja rapat perusahaan besar.
Kini, setelah bergaul dengan selera urban, kue pasar mengalami transformasi. Dulu, kue dibuat dengan ukuran besar sehingga lahir istilah jirem (siji marem) di masyarakat Jawa dan jibeuh (hiji seubeuh) di masyarakat Sunda. Maksudnya sama, makan satu sudah bikin kenyang.
Sekarang, ukuran dirancang sesuai selera masyarakat urban yang serbapraktis dan tak mau repot. Kue dibikin dalam ukuran kecil agar bisa masuk ke mulut dalam sekali santap. Seturut dengan itu, pebisnis kue, terutama yang menyasar kelas menengah atas, menyematkan citra baru buat kue pasar.
Gerai Monami, misalnya, memberi label di kemasan kue pasarnya dengan tulisan ”Hidangan praktis, sajian prestise”. Dengan label ini, orang-orang kaya dan kosmopolit tidak perlu takut dibilang ndeso jika menyantap klepon dan talam ubi produksi Monami.
Sebagian konsumen, terutama anak muda, kemudian membuat istilah Inggris buat beberapa kue. Semar mendem, misalnya, jadi the drunken semar. Asal tahu saja, mendem dalam bahasa Jawa berarti mabuk. Serabi notosuman yang sering dijinjing penumpang pesawat sebagai oleh-oleh disebut the flying serabis.
Dengan citra barunya itulah ”habitat” jajanan pasar meluas dari pasar tradisional ke gerai-gerai modern yang namanya berbau Perancis, seperti Monami atau Le Gourmet. Kue itu bahkan melenggang ke mal-mal elite dan mengilap di Jakarta, seperti Senayan City, Mal Pondok Indah II, Central Park, dan Mal Plaza Senayan. Ketika citranya bergeser, harganya pun naik. Kue bugis yang di Senen paling mahal Rp 700 per potong, di mal dijual Rp 4.500.
Bagaimana kue pasar bertahan di tengah derasnya intrusi makanan semacam burger dan kawan-kawannya?
Murdijati Gardjito, Staf Ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan, warga kota besar, seperti Jakarta, semakin sadar untuk mengetahui riwayat makanan yang mereka makan demi alasan kesehatan. "Nah, makanan yang mereka tahu riwayat bahannya itu, ya, makanan ibu. Kalau makanan impor, mereka belum tentu tahu bahannya apa," ujarnya.
Tren ini, menurut Murdijati, juga terjadi di banyak negara sejak 10 tahun lalu. Alasannya tidak semata-mata kesehatan, tetapi juga politik. Makanan tradisional mereka jadikan alat untuk meredam serbuan fast food, si anak kandung kapitalisme global.
0 komentar:
Posting Komentar