Jangankan siswa SD-SMP, pemakaian bahasa yang cenderung "egois" di buku ini pun bakal susah dimengerti pada orang dewasa yang memang tidak tertarik dunia politik. |
Egois. Rasanya, memang tidak terelakkan untuk mengatakan begitu. Buku "Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan" ini memang tidak menggunakan bahasa akademik untuk usia SD dan SMP, tetapi tetap "dipaksakan" untuk mereka (siswa) menerimanya.
Sejatinya, sebuah bacaan memang gampang bikin kening berkerut kalau bahasanya saja tidak dimengerti. Membacanya sejak di halaman kata pengantar, buku ini jelas-jelas menggunakan bahasa tutur media massa, yang ditujukan untuk orang dewasa. Itu pun setidaknya untuk mereka yang sudah mengerti politik, karena tak ada satu paragraf pun menampilkan bahasa yang menyentuh kalangan usia peserta didik SD/SMP.
"Sosok SBY adalah representasi bangsa. Kepribadian dan karakternya mendukung keberhasilannya. Dengan pendekatan yang dia namakan dengan soft power, dia berhasil menyelesaikan berbagai konflik di dalam negeri yang nyaris merobek keutuhan NKRI". (Hal. vi)
Bisa dibuktikan, pemakaian kata dan kalimat dari semua bab di buku ini sangat "tinggi", sangat tidak membumi untuk siswa. Banyak pemakaian istilah dan kalimat berbahasa Inggris yang tidak dicetak miring dan diberi penjelasan. Penggunaan istilah soft power misalnya, tercatat sampai lebih dari tiga kali digunakan tanpa ada penjelasan arti dan maksudnya.
"Keegoisan" itu juga ditemukan pada kata-kata lainnya seperti "review", "nuzulnya", "economic war", "Command and General Staff College", "status quo", "highlight", shock therapy", "power concept", dan masih banyak lagi.
Beberapa kesalahan penulisan kata dengan huruf besar pun banyak terjadi dan bisa menjerumuskan siswa dari kesalahan berbahasa yang baik dan benar. Mirisnya, kesalahan itu sudah terjadi sejak di Kata Pengantar seperti penulisan kata "Tinggi" (paragraf pertama Kata Pengantar) dan Komputer (paragfraf terakhir Kata Pengantar).
Sebagai buku pengayaan yang disimpan di perpustakaan, buku ini pun terlalu berat dijadikan alternatif bacaan siswa SD-SMP, bahkan siswa SMA sekalipun. Karena dari penggunaan kata, rangkaian kalimat, gaya bahasa, serta bermacam idiom-idiom di dalamnya, pendekatan buku ini hanya cocok sebagai buku pengayaan bidang politik untuk kalangan mahasiswa.
"Ofensif SBY-JK di gelanggang diplomasi internasional dengan mengambil momentum peristiwa tsunami ini dan kepeduliannya menolong masyarakat Aceh menyebabkan citra GAM melemah. Dalam suasana seperti itu, berpulang kepada GAM untuk memelihara citranya, apakah mereka merupakan perwujudan aspriasi demokratis atau bukan." (Hal. 43)
Kening berkerut
Terdiri dari 224 halaman, buku ini memaparkan tentang karir Presiden SBY di panggung politik, yaitu sejak Pemilu Presiden 2004 hingga diterbitkannya buku ini tahun 2009. Jika di awal sudah memuja-muja sosoknya, bisa ditebak, isi buku ini memang tidak memuat kekalahan atau kegagalan kinerja SBY sebagai presiden. Sebaliknya, semua yang ditulis, mulai bagian satu sampai lima, berisi keberhasilan seorang SBY dalam menegakkan keadilan sekaligus memberantas kejahatan.
Bab I berjudul "Demokrasi Kita" dipaparkan bagaimana proses demokratisasi berlangsung di Indonesia. Pada bab kedua buku ini memperlihatkan bagaimana kesan penuh dinamikanya proses terpilihnya SBY sebagai Presiden RI keenam, sedangkan pada bab ketiga sampai kedelapan menyajikan apa yang disebut dengan keberhasilan SBY menyelesaikan konflik-konflik di Aceh, Maluku, Poso, dan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), terorisme, serta premanisme.
Sementara itu, pada bab sembilan, penulis menyebutnya sebagai bab pembahasan yang diberi judul "Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan", yang kemudian dilanjutkan dengan bab sepuluh bercerita tentang "Menatap Masa Depan".
Boleh jadi, karena dari awal memang sudah dijelaskan di Kata Pengantar, bahwa penulisnya, Hasan Syukur, ingin menjadikan buku ini sebagai buku pendidikan politik, maka semua "keegoisan" itu konsisten dilakukan di buku ini. Tapi, untuk anak usia SD/SMP membaca di perpustakaan, pantaskah?
Bahkan, kening anak seusia SMA pun berkerut saat membacanya. Karena sebelum membedah buku ini, agak sulit membayangkan seorang siswa kelas 6 SD atau kelas tiga SMP bisa mencerna atau memahami dengan baik isi buku ini.
Hasilnya terbukti. Ketika disodorkan kepada dua siswa SD dan satu siswa SMP, kening mereka langsung berkerut dan memberikan pernyataan yang kurang lebih sama.
"Enggak ngerti, Om!"
Tak kita mungkiri, peran bahasa memang sangat penting untuk dicermati pertama kali pada sebuah bacaan, terlebih buku bacaan itu dikatakan sebagai pengayaan untuk para siswa SD-SMP. Tentunya, hal itu sekaligus untuk memperkuat bukti, bahwa pernyataan ketiga siswa tersebut tidak main-main.
Lebih penting lagi, peran bahasa adalah awal bagi seseorang untuk menyampaikan gagasan atau maksud dan tujuan agar mudah tercapai dengan baik lewat sebuah tulisan. Karena, jangankan pelajar SD-SMP, pemakaian bahasa yang cenderung "egois" di buku ini pun bakal susah dimengerti pada orang dewasa yang memang tidak tertarik dunia politik.
0 komentar:
Posting Komentar