Pesawat Merpati Xian MA 60 buatan China yang kini jadi polemik di Indonesia tetap terbang ke Sulawesi barat. |
JAKARTA, Berita Uptodate — PT Merpati Nusantara Airlines membeberkan kronologi pengadaan pesawat jenis MA-60. Direktur Utama Merpati Sardjono Johnny Tjitrokusumo mengatakan, pengadaan pesawat itu berawal dari adanya kebutuhan.
Bak gayung bersambut, ada tawaran dari Xian Air Craft selaku produsen MA-60. Kemudian, terjadi pembicaraan di antara keduanya di Point Comission Meeting Indonesia-China pada 29 Agustus 2005.Menurut dia, ketika itu, banyak bupati di daerah yang ingin dilayani dengan penerbangan Merpati. Alhasil, Merpati lalu mencari pesawat yang cocok. Lantaran belum ada Keputusan Menteri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perlunya Pelaporan untuk Pengadaan Barang, Merpati lalu memutuskan melaporkan kebutuhan itu kepada Kementerian Perhubungan.
Sardjono mengatakan, Xian Aircraft Company selaku produsen mempersyaratkan adanya persetujuan dari pemerintah sebagai kuasa pemegang saham, skema finansial, dan penandatanganan kedua belah pihak.
"Karena mendesak dan belum mendapat skema finansial, kami memutuskan lease (sewa) dengan kondisi kalau skema finansial ditemukan, uang leasedikembalikan," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (11/5/2011) malam.
Dia menegaskan, sebelum memutuskan mengambil MA-60 sebagai pilihan, Merpati telah menyeleksi produsen pesawat lainnya. Ketika itu, Sardjono mengaku sempat menerima tawaran dari PT Dirgantara Indonesia. Cuma, dia mengatakan, Merpati menjatuhkan kepada produsen lain karena ketika itu produksi CN-250 sudah dihentikan.
Akhirnya, maskapai pelat merah itu mempertimbangkan untuk menyeleksi ATR 72, Dash 8 Q 400 tipe propeler dari Bombardier Aerospace, dan lainnya. "Hanya, mereka semua mahal, bisa 19 juta dollar AS hingga 20 juta dollar AS per unit. Makanya, pilihan pada MA-60," jelasnya.
Selanjutnya, Merpati memutuskan menyewa dua unit MA-60 pada 2007 dengan menggunakan dana hasil usaha sebagai security deposit. Sardjono mengatakan, penyertaan modal negara sebesar Rp 75 miliar dan Rp 450 miliar yang dianggarkan dalam APBN 2005 sama sekali tidak digunakan untuk pembiayaan sewa dua pesawat itu.
Pada awalnya, Sardjono mengatakan, Merpati hanya mengajukan pinjaman kepada pemerintah untuk pengadaan pesawat tersebut. Namun, belakangan, pemerintah menyepakati metode penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement).
Sebagai syaratnya, Merpati harus menyusun strategic business unit (SBU) agar Kementerian Keuangan mendapatkan jaminan bahwa maskapai nasional itu sanggup membayar pinjaman tersebut. SBU itu mengharuskan Merpati juga memisahkan hasil usaha dari penggunaan MA-60 untuk membayar utang.
Dengan adanya skema itu, dua pesawat akhirnya dibeli dan menjadi bagian dari 15 unit yang dipesan dalam kontrak awal. "Karena jadi dibeli, uang lease dikembalikan," ujarnya.
Setelah itu, Merpati dan Xian Aircraft menyepakati concessional loan agreement pada 5 Agustus 2008. Setelah adanya kesepakatan itu, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Agus Supriyanto mengutarakan, Kementerian Keuangan dan Merpati meneken perjanjian penerusan pinjaman pada 11 Juni 2010. "Tapi, itu belum efektif. Efektif begitu ada persetujuan Banggar pada 30 Agustus 2010," jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar