MAGELANG, Berita Uptodate — Para calon pemuka agama perlu mendapatkan pendidikan pluralisme untuk menjaga sikap toleransi, saling pengertian di antara keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia, kata Rektor Seminari Menengah Mertoyudan Sumarya, SJ.
"Masa depan Indonesia yang damai, tenteram, dan bersatu akan menjadi harapan masyarakat dengan tumbuhnya nilai pluralisme dalam diri para pemuka agama," katanya pada seminar kebangsaan dengan tema pluralisme di Seminari Menengah Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Sabtu (23/7/2011).
Hadir sebagai pembicara dalam seminar ini cendekiawan NU Zuhaeri Misrawi; Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah Teguh Santoso; tokoh GKI Taman Yasmin Bogor, Markus Kurniawan Hidayat; Wapemred Harian Kompas Trias Kuncahyono; dan Anggota Komisi II DPR, Basuki Tjahaja Purnama.
Sumarya mengatakan, pendidikan pluralisme dibutuhkan para calon pemimpin umat untuk menumbuhkan sikap toleransi, saling pengertian, dan pembangunan karakter bangsa.
"Langkah ini sebagai cara yang bijak dan tepat untuk membentuk masyarakat yang berbineka, berbudaya, dan tetap menjunjung perbedaan yang ada."
Zuhaeri Misrawi mengatakan, fondasi agama di Indonesia adalah pendidikan. Selama fondasi kuat, maka iman juga kuat.
Ia mengatakan, Indonesia merupakan negara majemuk, baik kebudayaan, suku, bahasa, maupun agama. Kebinekaan adalah rahmat Tuhan. Berdasarkan survei, 97 persen masyarakat tidak mempermasalahkan bertetangga dengan orang beragama lain.
Namun, kata dia, ada ancaman radikalisme di negeri ini pasca-Reformasi. "Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia," katanya.
Menurut dia, terjadi peningkatan kekerasan selama 2010 dibanding tahun 2009. Pada 2009 terdapat 59 kasus kekerasan dan pada 2010 naik menjadi 81 kasus.
Trias Kuncahyo mengatakan memahami orang lain sangat penting. Dialog antarpemuka agama di negeri ini perlu dilakukan.
Ia mengatakan, dialog membutuhkan kerendahan hati dan mau menerima orang lain. "Kalau dalam dialog seseorang tetap menganggap dirinya nomor satu, maka tidak akan terjadi dialog," katanya.
Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, apabila terjadi salah paham, gampang diselesaikan. "Yang susah adalah paham yang salah, tetapi nekat dilakukan," katanya.
Paham yang salah di negeri ini, kata dia, mencontohkan aliran kepercayaan di Indonesia lebih dari 40.000, tetapi hanya dicatat lima agama yang diakui negara.
0 komentar:
Posting Komentar